Kejadian di Kalimantan tengah yang melibatkan antara pemimpin daerah dengan Konco-konconya, saat berhadapan menolak kedatangan petinggi FPI di bumi Kalimantan, terlihat jelas siapa yang bermain politis disana, tidak lepas dari pemimpin daerah yang menggerakkan atas nama masyarakat Dayak Kalimantan, padahal tidak semua masyarakat Dayak anti FPI, tetapi seolah media di giring melakukan penghakiman terhadap FPI. Nah! dari situlah terlihat FPI sebagai korban ambisi penjaga kursi kekuasaan.
Sedangkan sikap Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufik Kiemas sangat membela tindakan yang mengatasnamakan masyarakat adat Dayak. Mengingat kearifan lokal harus dijaga. Itulah komentar sepihak dari ketua MPR yang seharusnya mengambil jalan tengah, tanpa menghakimi satu kelompok. Mengingat dia adalah wakil rakyat yang terhormat di gedung MPR yang di danai uang rakyat Indonesia.
Melihat dari dukungan ketua MPR dalam menyikapi kejadian pengusiran petinggi FPI di Kalimantan tengah, mereka sangat mendukung langkah yang di ambil sebagian masyarakat Kalimantan tengah saat mengusir petinggi FPI tanpa melihat dari sisi permasalahan secara tepat. Sehingga membuktikan kalau FPI korban politis para penguasa dalam mengambil sikap secara sepihak tanpa melihat akar permasalahan sesungguhnya.
Pernyataan ketua MPR dapat menimbulkan kecurigaan baru, bahwa pengusiran ketua FPI tidak hanya kepentingan penguasa daerah, namun senayan sudah mengagendakan lebih jauh lagi dalam menyikapi lembaga FPI tidak hanya sebatas di Kalimantan tengah. Nah! dari situlah terlihat unsur politis antara penguasa daerah dengan senayan sangat dekat dalam mengambil langkah menjadikan FPI sebagai korban politis di nusantara Indonesia.
FPI merupakan organisasi yang seolah di gantung dalam kehidupan para penguasa. Mengingat di saat FPI dibutuhkan pada saat kampanye atau bentuk kepentingan lainnya, maka FPI akan di dorong bergerilya melakukan berbagai aksi, agar sang penguasa mampu duduk di kursi empuk singgasana, tetapi di saat FPI tidak di butuhkan lagi dalam kursi kekuasaan, maka dengan cepat penguasa melakukan kritik total keberadaan FPI di Indonesia.
Ketika pemimpin daerah dan Konco-konconya menolak kedatangan petinggi FPI, seperti yang terjadi di Kalimantan tengah, tentu tak lepas dari unsur politis kekuasaan yang menjadi dasar permasalahan penolakan tersebut. Bahkan petinggi MPR ikut nimbrung masalah kedatangan FPI di Kalimantan tengah dan mendukung Cara-cara yang di tempuh dalam penolakan kedatangan FPI tersebut.
Ketika pemimpin daerah dan Konco-konconya menolak kedatangan petinggi FPI, seperti yang terjadi di Kalimantan tengah, tentu tak lepas dari unsur politis kekuasaan yang menjadi dasar permasalahan penolakan tersebut. Bahkan petinggi MPR ikut nimbrung masalah kedatangan FPI di Kalimantan tengah dan mendukung Cara-cara yang di tempuh dalam penolakan kedatangan FPI tersebut.
Seorang pemimpin MPR sudah berkewajiban melindungi masyarakat tanpa memandang suku, agama, golongan dan memandang yang lainnya, agar terjadi sebuah kontrol penguasa yang sehat dalam membaca situasi kondisi masyarakat bangsa Indonesia dan kita kenal dengan istilah "Bhineka Tunggal Ika".
Kejadian di atas juga dapat di asumsikan. Bahwa para penguasa politis mulai mencari kambing hitam dalam menyikapi sebuah permasalahan di negeri yang bernama Indonesia. Mengingat keserakahan dalam melakukan berbagai tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak dapat ditutup-tutupi. Maka dengan cepat mengambil inisiatif mencari kambing hitam di lain persoalan penyakit sang penguasa tersebut. Bahkan ironis FPI dijadikan salah satu cara Menutup-nutupi kesalahan para penguasa dengan melempar baju persolan, agar masyarakat mengutuk FPI dan melupakan kesalahan para penguasa di tubuh bangsa Indonesia. Dan Allah maha tahu segala.
Salam dari kami Jejaring sosial kiber (www.kitaberbagi.com)................... ...
Salam dari kami Jejaring sosial kiber (www.kitaberbagi.com)................... ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar